Energi listrik alternatif pengganti bahan bakar minyak (BBM) kini semakin mudah dicari. Pasalnya, selokan yang meng alir di sepanjang jalan pun bisa dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik. Kita tentu benci jika ada selokan berisi air pembuangan dan berbau tidak sedap. Tetapi jangan menghindarinya terlalu jauh. Dengan perubahan pola pikir, tanpa disadari, arus air selokan yang mengalir pelan mampu memberi energi listrik alternatif yang dapat menghidupi puluhan lampu kota.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), melalui Balai Besar Pengembangan Teknologi Tepat Guna (B2PPTG), tengah mengaplikasikan sebuah perangkat berjuluk PAT (Pump As Turbine). Teknologi ini begitu unik karena hanya memanfaatkan aliran air yang begitu kecil. Tidak jauh-jauh harus ke waduk atau sungai, para peneliti cukup menaruh alat tersebut di selokan terdekat. Saat diujicobakan di Kebun Raya Cibodas, Jawa Barat, PAT menunjukkan kinerja stabil dalam menyuplai listrik sebesar dua kilowatt (setara 2.000 watt).
Jika dikonversikan sebagai penerangan rumah, suplai listrik berdaya 2 kilowatt akan dapat menerangi 20 rumah, dengan asumsi satu rumah memakai kapasitas 50 watt. Jumlah yang lumayan membantu, padahal saluran air yang dibuat hanya sepanjang satu meter dengan kedalaman 20 hingga 30 sentimeter. Walau bisa untuk penerangan rumah, menurut Syahrul Aiman, Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Teknik LIPI, tujuan utamanya lebih pada konversi energi untuk penerangan jalan di daerah-daerah.
“Temuan ini diharapkan bisa me ringankan beban pemerintah dae rah karena penerangan jalan membutuhkan energi listrik cukup besar,” paparnya. Jika digunakan untuk penerangan jalan, daya dua kilowatt mampu memenuhi suplai listrik lampu kota sejauh 500 meter. Arie Sudaryanto, peneliti dari B2PPTG, menilai keberadaan PAT lebih diperuntukkan bagi daerah- daerah yang kurang memiliki dana atau baru mengenal turbin pembangkit listrik. “Sejak tahun 1990-an, konsep PAT ini sudah dikembangkan sebagai bahan riset.
Sasaran yang dituju memang lebih pada lokasi-lokasi yang belum dijangkau Perusahaan Listrik Negara (PLN),” tegasnya. Karena itu, PAT dirasa dapat lebih bermanfaat jika difungsikan di tempat-tempat terpencil seperti di pinggiran Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, atau Sulawesi Tengah. Prinsip Dasar Teknologi PAT sebenarnya hanya menjadi sebuah pembalikan pola fungsional dari pompa air yang umum didapatkan di pasaran.
Jika ditilik dari persepsi kegunaan pompa air yang dijual secara masif, pompa air dibeli untuk membantu penyedotan air di dalam tanah dengan bantuan energi listrik. Nah, PAT menggunakan logika sebaliknya. Saat PAT ditanam di selokan, kerja fungsionalnya bukan untuk menyedot air selokan menggunakan listrik, melainkan memanfaatkan arus kecil air selokan yang secara alami mengalir untuk diubah secara mekanis menjadi energi listrik. Prinsip dasar dari PAT adalah sebuah pembangkit listrik pikohidro, satu level di bawah mikrohidro. Jika dengan mikrohidro energi listrik yang dihasilkan akan mampu mencapai 120 kilowatt, pikohidro hanya lima kilowatt. Prinsip ini memanfaatkan energi potensial, dalam hal ini diwakili oleh arus air berkapasitas kecil untuk diubah menjadi energi kinetik (gerak). Energi kinetik ini nantinya yang secara signifi kan dikonversikan menjadi energi listrik. Kronologinya, saat pertama hendak dibangun, perlu disediakan sebuah pompa air sentrifugal berbagai merek dengan tipe single phase, berdiameter 200 sentimeter kubik.
Pompa air ini selanjutnya diletakkan di tengah aliran arus air. Sebelum air “dipersilakan” masuk ke pompa, arus harus melewati bendungan yang dibangun di tengah- tengah saluran selokan. Bendungan ini berfungsi serupa dengan penyaring. Keberadaannya tentu untuk meng hindari masuknya hambatanhambatan berupa sampah mikro atau yang sebesar kayu. Penyaring ini berasal dari besi beton sepanjang tiga hingga empat sentimeter.
“Yang hingga kini kami sedang sesuaikan adalah besaran dari sekat-sekat penyaringnya, apakah akan membuat penyaring bersekat besar atau kecil. Karena pengombinasian sekat (sekat kecil dan besar diletakkan bersamaan) akan mengganggu debit air,” tukas Arie. Agar menghasilkan energi sebesar dua kilowatt, dibutuhkan debit air yang dapat mendorong turbin atau kincir di dalam pompa sebanyak 50 liter per detik. Ini setara dengan tiga galon air minum isi ulang yang harus terkucur dalam waktu satu detik. Jika digunakan sekat penyaring yang terlalu kecil, aliran air akan melambat sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan debit air.
Setelah dibendung, arus air akan dilewatkan ke dalam pipa penghubung antara pompa dengan bendungan. Pipa dapat menggunakan pipa PVC atau logam/plat besi. Semua bergantung pada kondisi lingkungan. Jika sering diterpa halangan dan hambatan, alangkah baiknya jika menggunakan pipa yang lebih kokoh. Karena menggunakan konsep terbalik dari kerja pompa konvensional, lubang yang seharusnya menjadi tempat keluarnya air justru menjadi saluran masuknya air dari luar.
Setelah masuk ke pompa melalui lubang air, air mengalir ke bagian bawah pompa. Alirannya langsung menuju ke daerah tempat turbin sudah menunggu dengan kincirnya. Air lalu akan dihantamkan ke baling- baling. Putaran kincir yang berupa energi kinetik itu akan ditransfer melalui poros pipa dan diarahkan ke flatbelt. Dan flatbelt ini akan menjadi kunci pengonversi energi kinetik menjadi energi listrik. Ini dikarenakan flatbelt harus membaca gerakan turbin sebelum masuk ke generator.
Dan di dalam generator inilah listrik diatur sedemikian rupa hingga mampu menghasilkan energi sebesar dua kilowatt.
Prosesnya kemudian tentu lebih berpusat pada manajemen energi, yang sepenuhnya dikendalikan pusat kendali (kontrol).
Kebutuhan akan kontrol ini merujuk pada kebanyakan masyarakat perdesaan yang menggunakan pembangkit listrik tenaga air melalui turbin menafikan manajemen energi. “Jika tidak ada kontrol, beban suplai listrik yang disalurkan ke masing-masing jaringan rumah akan disamaratakan. Kekhawatiran tentu menyeruak saat di siang hari seluruh lampu rumah dimatikan,” tambah dia. “Jika ada satu atau dua rumah tangga saja yang lupa mematikan listrik, maka load (beban) listrik yang seharusnya tersebar, malah terpusat pada beberapa rumah tangga saja,” papar Arie.
Andai ini terjadi, beban listrik pada rumah tersebut akan berlebih dan bisa mengakibatkan penggelembungan beban, yang sewaktuwaktu bisa pecah dan meledak. Karena itu, dipakai electronic load controller (ELC) yang mengatur besaran beban untuk kemudian disalurkan ke jaringan-jaringan yang perlu disuplai listrik. Pusat kendali ini dibuat sesederhana mungkin hingga menyerupai panel listrik biasa. Agar aman dari terjangan badai atau gangguan lingkungan lainnya, pusat kendali sekaligus pompa dibuatkan sebuah power house sebesar dua kali dua meter. Untuk melihat cost effectiveness dari pembangkit listrik model PAT ini, Arie belum dapat memperkirakannya karena masih dalam uji kelayakan.
Minimal setahun ke depan baru bisa didapatkan gambaran secara keseluruhan potensi turbin sederhana ini. Masalah yang masih menggelayuti hingga kini adalah bagaimana melakukan transfer teknologi dari perangkat ini. Masyarakat selama ini terbiasa menggunakan pembangkit dengan kincir kayu biasa, dan belum bisa dibiasakan dengan model pompa air terbalik ini.
Source : Koran Indonesia
Energi Listrik dari Selokan
Diposting oleh
ELEKTRO BLOG
|
Kamis, 08 April 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
3 komentar:
skema lebih rincinya gimana tu boss?
ikuti link ini http://membuatpanelsuryaitumudah.blogspot.com/2012/05/generator-tanpa-bahan-bakar.html
baca semua komentarnya......
50 L/dt =aliran sungai bkn lg selokan,akh...masakan blom matang dh d sajikan ntar sakit perut
Posting Komentar