Meski batubara termasuk sumber energi tak terbarukan, namun hasil penelitian menunjukkan bahwa cadangan batubara di dunia saat ini masih sangat melimpah. Terhitung pada tahun 1990, jumlah cadangan batubara dunia diperkirakan mencapai 1.079 milyar ton dan masih dapat diandalkan sebagai sumber energi dunia hingga lebih dari 230 tahun, bahkan diperkirakan dapat mencapai hingga 300 tahun mendatang. Di Indonesia sendiri, berdasarkan data pada P.T. Tambang Batubara Bukit Asam, hingga tahun 1991 jumlah batubara yang ditambang baru sebesar 14.478 ribu ton, dari total cadangan yang diperkirakan sebesar 34 milyar ton. Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar batubara memiliki dua reputasi yang saling bertolak belakang. Di satu fihak PLTU betubara mempunyai reputasi baik karena mampu memproduksi listrik dengan biaya paling murah dibandingkan sistim pembangkit listrik lainnya. Biaya operasi PLTU batubara kurang lebih 30 % lebih rendah dibandingkan sistim pembangkit listrik yang lain. Namun di lain fihak, PLTU batubara juga mempunyai reputasi buruk karena merupakan sumber pencemar utama terhadap atmosfer kita. Selama ini reputasi bahan bakar fosil, terutama batubara, memang sangat buruk apabila dikaitkan dengan masalah pencemaran lingkungan. Walaupun stasiun pembangkit listrik batubara saat ini telah menggunakan alat pembersih endapan (presipitator) untuk membersihkan partikel-partikel kecil dari asap pembakaran batubara, namun senyawa-senyawa seperti SOx dan NOx yang berbentuk gas dengan bebasnya naik melewati cerobong dan terlepas ke udara bebas. Kedua gas tersebut dapat bereaksi dengan uap air yang ada di udara sehingga membentuk H2SO4 (asam sulfat) dan HNO3 (asam nitrat).
Keduanya dapat jatuh bersama-sama air hujan sehingga mengakibatkan terjadinya hujan asam. Berbagai kerusakan lingkungan serta gangguan terhadap kesehatan dapat muncul karena terjadinya hujan asam tersebut. Fenomena hujan asam sebetulnya sudah dikenali oleh para pemerhati lingkungan sejak tahun 1950-an. Namun masalahnya menjadi bertambah parah seiring dengan semakin meningkatnya permintaan energi listrik yang disuplai melalui PLTU batubara. Masalah hujan asam mungkin akan merupakan masalah lingkungan jangka panjang yang teramat serius. Hujan asam bisa juga menjadi isu politik besar terutama karena sumber asal dan para korbannya sering berada di tempat yang berbeda. Bahan pencemar NOx dan SOx dapat bergerak terbawa udara hingga ratusan bahkan ribuan kilometer, mencapai lintas batas antar negara. Di samping itu, sangat sulit untuk menunjukkan secara pasti sumber-sumber polutan yang menyebabkan terjadinya hujan asam di suatu kawasan/negara tertentu. Emisi gas asam dari negara-negara bagian di Lembah Sungai Ohio di Amerika Serikat yang padat industri, termasuk Missouri dan Tennessee, terbang ke timur dan utara keluar dari wilayah AS menuju ke New England dan Kanada. Keasaman Air Dalam keadaan udara bersih, air hujan bersifat agak asam dengan derajad keasaman (pH) 5,6.
Penyebab keasaman ini adalah adanya senyawa carbon dioksida (CO2), suatu senyawa alamiah penyusun udara yang dalam air hujan membentuk asam lemah. Senyawa ini dikeluarkan baik oleh manusia, hewan maupun tanaman melalui sistim pernafasan. Air hujan dikatagorikan sebagai asam apabila nilai pH-nya di bawah 5,6. Air untuk konsumsi manusia harus memiliki nilai pH antara 6-9. Asam dalam air hujan menambah kemampuan air itu untuk melarutkan dan membawa lebih banyak logam-logam berat keluar dari tanah, seperti merkuri (Hg) dan aluminium (Al). Air asam ini juga dapat melarutkan tembaga (Cu) dan timbal (Pb) dari pipa-pipa logam untuk menyalurkan air. Peristiwa ini tentu saja akan menggganggu persediaan air untuk konsumsi manusia. Air dengan pH 5 menyebabkan ikan salem dan farel tidak mampu berkembang biak. Pada pH sekitar 4,5, ikan lenyap dari danau. Sedang pada pH 4, danau menjadi tanpa kehidupan. Pada pH mendekati 3, daun tanaman menjadi rusak. Di berbagai belahan dunia, manusia mulai semakin menyadari perlunya menyelamatkan lingkungan hidup. Tindakan-tindakan protektif kini sedang digiatkan untuk melindungi sumber-sumber alam yang tak ternilai harganya ini dari kehancuran total.
Salah satu upaya protektif untuk melindungi kekayaan hayati ekosistim alam ini adalah dengan memperkenalkan berbagai jenis teknologi yang dapat dipakai untuk memperkecil emisi gas-gas asam yang keluar pada saat pembakaran batubara. Dewasa ini manusia di berbagai belahan dunia mulai sadar akan perlunya menyelamatkan lingkungan dengan cara mereduksi maupun menjinakkan polutan-polutan yang terlepas ke lingkungan. Beberapa negara maju telah mengeluarkan peraturan sangat ketat dan menanamkan investasi cukup besar dalam rangka mengurangi polusi udara dari gas buang. Untuk penyelesaian jangka panjang, salah satu cara yang dapat ditempuh untuk menghindari terjadinya hujan asam adalah dengan menghentikan sumber hujan asam tersebut. Teknologi FBC Dewasa ini telah dikembangkan sistim peralatan berteknologi tinggi yang mampu mengurangi emisi polutan dalam gas buang yang dikeluarkan cerobong, baik dari pusat pembangkit listrik maupun industri lainnya yang membakar batubara. Berbagai upaya untuk memperbaiki reputasi batubara terus dilakukan dengan mewujudkan clean coal technology, salah satunya adalah dengan teknologi fluidised bed combustion (FBC). Teknologi ini di samping mempunyai efisiensi pembakaran batubara yang tinggi, juga mampu meredam secara drastis emisi gas-gas polutan seperti SOx dan NOx. Emisi gas buang pada pembakaran batubara dengan teknik FBC bisa ditekan menjadi lebih rendah karena suhu operasi pembakaran batubaranya relatif rendah. Pada teknologi FBC, suhu operasinya sekitar 750-950 _C, sehingga batubara dapat terbakar secara efisien, tidak meleburkan abu serta sisa pembakaran lainnya. Pada suhu pembakaran 800 _C, emisi NOx dapat dikurangi hingga 33 %.
Karena prestasinya itu, teknologi FBC mampu menggeser teknologi pembakaran batubara cara kuno yang telah berumur lebih dari satu abad, yang dikenal dengan pulverised coal combustion (PCC). Pada teknologi PCC, karena suhu pembakarannya lebih tinggi, maka emisi gas NOx juga tinggi. Dari Polutan ke Gipsum Selain memperbaiki efisiensi dan sistim pembakaran batubara, sebagai upaya untuk mencegah berlanjutnya krisis ekologi dewasa ini juga telah dikembangkan sistim peralatan berteknologi tinggi yang mampu memisahkan gas-gas polutan seperti SOx dan NOx dalam gas buang dari pembakaran batubara. Salah satu metode untuk memisahkan polutan SOx dalam gas buang adalah dengan teknik flue-gas desulfurization (FGD). Pemisahan polutan dapat dilakukan menggunakan penyerap batu kapur atau Ca(OH)2. Gas buang dari cerobong dimasukkan ke dalam fasilitas FGD. Ke dalam alat ini kemudian disemprotkan udara sehingga SO2 dalam gas buang teroksidasi oleh oksigen menjadi SO3. Gas buang selanjutnya "didinginkan" dengan air, sehingga SO3 bereaksi dengan air (H2O) membentuk asam sulfat (H2SO4). Asam sulfat selanjutnya direaksikan dengan Ca(OH)2 sehingga diperoleh hasil pemisahan berupa gipsum (gypsum). Gas buang yang keluar dari sistim FGD sudah terbebas dari oksida sulfur. Hasil samping proses FGD disebut gipsum sintetis karena memiliki senyawa kimia yang sama dengan gipsum alam. Selain dapat mengurangi sumber polutan penyebab hujan asam, gipsum yang dihasilkan melalui proses FGD ternyata juga memiliki nilai ekonomi karena dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, misal untuk bahan bangunan. Sebagai bahan bangunan, gipsum tampil dalam bentuk papan gipsum (gypsum boards) yang umumnya dipakai sebagai plafon atau langit-langit rumah (ceiling boards), dinding penyekat atau pemisah ruangan (partition boards) dan pelapis dinding (wall boards). Amerika Serikat merupakan negara perintis dalam memproduksi gipsum sintetis ini. Pabrik wallboard dari gipsum sintetis yang pertama di AS didirikan oleh Standard Gypsum LLC mulai November tahun 1997 lalu. Lokasi pabriknya berdekatan dengan stasiun pembangkit listrik Tennessee Valley Authority (TVA) di Cumberland yang berkapasitas 2600 Mega Watt.
Produksi gipsum sintetis merupakan suatu terobosan yang mampu mengubah bahan buangan yang mencemari lingkungan menjadi suatu produk baru yang bernilai ekonomi. Sebagai bahan wallboard, gipsum sintetis yang diproduksi secara benar ternyata memiliki kualitas yang lebih baik dibandingkan gipsum yang diperoleh dari penambangan. Gipsum hasil proses FGD ini memiliki ukuran butiran yang seragam. Mengingat dampak positifnya cukup besar, tidak mustahil suatu saat nanti, setiap PLTU batubara akan dilengkapi dengan pabrik gipsum sintetis. Mengubah Polutan Menjadi Pupuk Peralatan berteknologi tinggi lain yang kini mulai dipakai untuk menjinakkan polutan penyebab hujan asam adalah electron beam machine atau mesin berkas elektron (MBE). Prinsip kerja alat ini adalah menghasilkan berkas elektron dari filamen logam tungsten yang dipanaskan. Berkas elektron selanjutnya difokuskan dan dipercepat dalam tabung akselerator vakum bertegangan tinggi 2 juta Volt. Jika gas buang yang mengandung polutan sulfur dan nitrogen diirradiasi dengan berkas elektron dalam suatu tempat yang mengandung gas ammonia, sulfur dan nitrogen itu dapat berubah menjadi ammonium sulfat dan ammonium nitrat. Teknik irradiasi elektron untuk menjinakkan polutan dalam gas buang ini telah dipelajari di Jepang sejak tahun 1970-an. Proses pembersihan gas buang dilakukan pertama-tama dengan mendinginkan SOx dan NOx dengan semburan air (H2O). Ke dalam campuran senyawa ini selanjutnya ditambahkan gas ammonia dan dialirkan ke dalam tabung pereaksi (vessel). Campuran senyawa yang mengalir dalam tabung pereaksi ini selanjutnya diirradiasi dengan berkas elektron. Karena mendapatkan tambahan energi dari elektron itu, maka gas-gas polutan akan berubah, SOx menjadi SO3 dan NOx menjadi NO3. Masih dalam pengaruh irradiasi elektron, kedua senyawa tersebut bereaksi dengan air sehingga dihasilkan produk antara (intermediate product) berupa asam sulfat dan asam nitrat. Setelah 0,1 detik dari proses irradiasi, produk antara (asam sulfat dan asam nitrat) bereaksi dengan ammonia sehingga dihasilkan produk akhir berupa ammonium sulfat dan ammonium nitrat. Kedua senyawa ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pupuk sulfat dan pupuk nitrogen.
Wujud fisiknya pun berubah, yaitu dari gas menjadi kristal/partikel. Penelitian skala laboratorium yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian Tenaga Atom Jepang (JAERI) bekerjasama dengan perusahaan Ebara menunjukkan bahwa dosis radiasi berkas elektron sebesar 15 kilo Gray (kGy) mampu mengubah 95 % SOx dan 85 % NOx menjadi senyawa yang tidak berbahaya. Sementara itu, penelitian pembersihan gas buang sisa penyinteran bijih besi yang dilakukan oleh Nippon Steel Corporation menunjukkan bahwa MBE ini dapat mereduksi 85 % SOx dan 95 % NOx yang terlarut dalam gas buang. Penelitian yang telah dilakukan di AS dan Jerman bahkan mencatat bahwa irradiasi dengan MBE ini mampu mereduksi polutan hingga 99 %. Pemakaian berkas elektron untuk menjinakkan gas-gas polutan seperti SOx dan NOx ini mempunyai beberapa keuntungan, antara lain : proses penjinakan dapat dilakukan secara serentak dalam waktu yang sangat singkat, merupakan proses kering dan langsung satu tingkat, serta hasil akhirnya berupa bahan baku untuk pembuatan pupuk yang bernilai ekonomi dan dapat digunakan dalam sektor pertanian.
Menuju PLTU Ramah Lingkungan
Diposting oleh
ELEKTRO BLOG
|
Kamis, 04 Maret 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar